Maaf, Aku Gagal
Oleh : Imam Fadhlianshah
Tulisan ini ditulis pada 12 Oktober 2020, namun masih ragu untuk dikirim, hari ini 5 November dengan sedikit perbaikan kata & memantapkan hati. aku kirim
-- yak,
Seperti yang kalian
duga, aku selalu jadi anak yang paling canggung untuk mengatakan ini langsung.
Mak, Ayah, Maaf belum bisa bikin kalian bangga. Maafkan aku yang juga masih
bodoh. Sampai sekarang, aku tak pernah sanggup membuat kalian menangis haru membanggakan
keberhasilanku.
Inginnya aku mengajak
sekeluarga berlibur ke kota-kota besar setelah aku mendapat sepucuk ucapan
selamat atau medali emas atau gaji ketiga belas atau penghargaan atau apa sajalah
yang menandakan kesuksesanku, tapi tak ada. Ternyata aku masih tak mampu
menjadi sebesar harapan kalian.
Aku masih belum bisa
jadi contoh yang baik buat adik-adik. Juga belum mampu mendukung cita-cita
mereka. Bahkan aku lupa menanyakan mau jadi apa mereka nantinya, apakah sesuai
harapan mak dan ayah atau tidak? Akupun kadang tak tau bagaimana cara bertanya
yang baik kepada saudara. Apa harus bertanya serius atau sambil bercanda?
Aku bingung dan tak
mengerti kenapa aku masih sibuk mengobati kegagalan-kegagalan pahit ini? Aku pun
makin meragukan diriku. Apakah aku layak bersama anak kalian dan apakah aku
bisa berguna? Entah aku yang kurang bersungguh-sungguh dalam mengejar ataukah
cita-citaku mungkin terlalu jauh?
Mak, Ayah, kalian
bilang tak ada yang tidak mungkin, tapi kini aku memetik pelajaran baru. Setidaknya
ada dua hal yang mungkin saja tidak mungki.n. Pertama, memasukkan lagi odol gigi
yang tumpah pada kemasannya. Kedua, suksesnya aku. Aku lelah sebab terlalu
sering gagal. Aku hafal dengan lelah dan muak akan rasanya jatuh.
Mak, Ayah, mungkin
kalian malu menyebut nama anakmu ini di hadapan teman kalian, pun tetangga.
Bahkan beberapa kali terpaksa harus berbohong. Aku yakin pasti maksudnya baik,
menyamarkan berita biar keluarga kita sedikit lebih bermartabat.
Kalian sebut aku
engineer padahal aku tukang service, kalian sebut aku desainer padahal cuma
tukang edit amatiran, kalian sebut aku ustadz padahal cuma kebetulan mengabdi
di pesantren
Aku merasa gagal jadi
anak kalian, di rantau aku hidup tak karuan, telat makan, sering begadang, overthinking yang
tidak penting, bahkan sering hedon dengan kantong pas-pasan, yang pada akhirnya bikin keuangan defisit dan aku harus berhutang pada teman, di saat ada penghasilan
baru bisa ku lunasi tanpa mengirim apapun ke kampung halaman. Durhakanya aku.
Terasa sangat berbeda saat
aku di rumah, aku bisa makan sepuasnya dengan bersandar di kursi tebal
saembari jempol kaki menyentuh tombol volume televisi. Aku juga bisa tidur
seharian dengan perut kekenyangan tanpa melakukan aktifitas lain.
Aku tak tau entah kapan
kan aku bisa membahagiakan kalian dengan mengakhiri rentetan kegagalan ini,
walaupun aku tau persis kalian takkan mempermasalahkan semua kegagalanku. mak
ayah tak perlu risau, walau kini aku sedang berjalan pelan tapi percayalah mak
ayah, aku melangkah sambil belajar merasa cukup dan bahagia.
Sering ku lihat
diperjalanan ku yang singkat ini, di luar sana banyak yang sukses tapi
tertekan, penghasilan mereka banyak dibuntuti tanggungan yang tak kalah banyak,
banyak juga yang meminta jatah sambil merutuk dan memaki, banyak yang ria
sana-sini diam-diam mencuri, banyak juga yang dengki dan saling memakan rekan
sendiri, banyak lagi, dan banyak lagi.
Semoga saja dengan
begini mak ayah tak terlalu menaruh harap terlalu banyak lagi, semoga saja
dengan kumpul bahagia saat pulang kampung cukup menjadi obat penenang atas
banyak kegelisahan
Mak, ayah, tak bisa ku
pastikan bahwa takkan ada yang tak sampat tersampaikan, sampai kita bertemu di
alam selanjutnya, entah siapa yang lebih dulu dipanggil pulang, mamak, ayah
atau justru aku. Yang jelas terimakasih atas budi baik kalian, cinta kasih
kalian. Kuserahkan pada Allah untuk sebaik-baiknya balasan yang kan diberikan,
Mak ayah, kalian perlu tau, Aku tak pernah gagal dalam mencintai dan merindukan
kalian.
Sulung – 2020